A.
Konsep
diri
Secara
teoritis dalam dunia psikologi pendidikan, konsep diri merupakan suatu materi
yang tidak ada habis-habisnya digali. Dalam hampir setiap penelitian yang
dilakukan dalam bidang kognitif, self concept
(konsep diri) merupakan titik utama yang diperhatikan. Konsep diri merupakan
esensi awal dari pengembangan manusia. Pemahaman yang cukup mendasar, mengingat
ide untuk mengubah diri seseorang akan menjadi lebih efektif apabila merupakan
motivasi atau kesadaran diri orang itu sendiri.
Konsep
diri sendiri merupakan cara pandang diri manusia dalam melakukan penilaian pada
dirinya sendiri. Menariknya, mengingat tingginya variasi antarmanusia tentu
konsep diri antar orang akan sangat unik dan luar biasa bervariasi. Konsep diri
itu sendiri, bukanlah sesuatu yang baru, namun dalam aplikasi yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari belum terlalu populer untuk kalangan awam.
Awalnya
seseorang dilahirkan tanpa mengenali dirinya, kemudian belajar un-tuk mengenali
dirinya dan menjadi pengenal, kemudian ia akan mulai belajar untuk dikenali.
William
James, 1890
Pemahaman
mengenai konsep diri merupakan hasil dari bagaimana kita melakukan proses
mengenali diri sendiri. Proses ini kemudian kita sebut sebagai deskripsi diri.
Perkembangan selanjutnya, proses pengenalan itu sendiri akan sangat beraneka
ragam. Dimulai dari penilaian terhadap penilaian fisik, seperti cantik atau
tampannya wajah seseorang, maupun bentuk tebuh. Kemudian berkembang kepada pengenalan diri nonfisik seperti
sejauh mana kepandaian saya, sudah sebaik apakah tingkah laku saya. Pengenalan
diri inilah yang kemudian oleh beberapa ahli disebutkan merupakan
hasil
dari pemahaman ysng dikembangkan dari pengalaman, yang dihadapi oleh seseorang
ketika menjalani hidupnya.[1]
Konsep
diri juga merupakan cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi intelektual, sosoial, dan spiritual. Termasuk di
dalamnya adalah presepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya,
interaksi individu
dengan
orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan penga-laman
dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya.
Beberapa
hal yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam konsep diri, yaitu:
a. Dipelajari
melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.
b. Berkembang
secara bertahap, diawali pada waktu bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya
dengan orang lain.
c. Positif
ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingku-ngan.
d. Negatif
ditandai dengan hubungan individu dan hubungan sosial yang maladaptif.
e. Merupakan
aspek kritikal dan dasar dari pembentukan perilaku individu.
f.
Berkembang dengan cepat
bersama-sama dengan perkembangan bica-ra.
g. Terbentuk
karena peran keluarga, khususnya pada masa anak-anak, yang mendasari dan
membantu perkembangannya.
Hal
lain yang penting dalam konsep diri, yaitu:
a. Aspek
utama dalam perkembangan identitas diri adalah nama dan panggilan anak.
b. Pandangan
individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan
pandangan orang lain terhadap dirinya.
c. Suasana
keluarga yang serasi atau harmonis dan berpandangan positif akan mendorong
kreativitas, menghasilkan perasaan yang potif dan berarti bagi anak.
d. Penerimaan
keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya sangat mendorong
aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya. Kepada
e. anak-anak
disarankan agar seminimal mungkin menggunakan kata-kata jangan, tidak boleh, dan nakal
tanpa penjelasan lebih lanjut.[2]
B.
Jenis-jenis
dan Komponen Konsep Diri
Jenis-jenis
Konsep Diri
Konsep
diri dapat dibagi kedalam beberapa jenis. Jenis- jenis konsep diri menurut
Calhoun & Acoccela (1990) dalam perkembangan terbagi menjadi dua yaitu
konsep diri positif dan konsep diri negatif.
a.
Konsep Diri Positif
Konsep diri positif lebih kepada
penerimaan diri bukan suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri
positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri
positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi
terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang
lain. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan merancang
tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang mempunyai
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya
serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan. Singkatnya, individu
yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul siapa dirinya
sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap
dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai
dengan realitas.
b.
Konsep
diri negatif
Calhoun & Acoccela membagi konsep diri negatif
menjadi dua tipe, yaitu:
1.
Pandangan individu tentang dirinya
sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan
keutuhan diri. Individu tersebut benar- benar tidak tahu siapa dirinya,
kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.
2.
Pandangan tentang dirinya sendiri
terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan
cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan
adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara
hidup yang tepat.[3]
C.
Perkembangan
Konsep Diri
Menurut
beberapa ahli, konsep diri dikembangkan melalui interaksinya dengan orang lain
maupun peniruan. Apabila sejak kecil ia diterima, disayangi, dan selalu
dihargai, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif. Sementara itu
pengalaman sosial yang buruk seperti ditolak, dicela, akan membentuk konsep
diri yang negatif. Demikian halnya perilaku orang-orang yang dianggap penting
bagi anak maupun tokoh-tokoh idola anak akan mempengaruhi konnsep dirinya.
Dengan bertambahnya usia seorang anak, maka konsep diri akan terus berkembang
melalui interaksinya dengan orang lain selain orang tuanya, terutama melalui
perbandingan sosial dengan teman sebayanya.
Pengenalan
diri seorang anak dimulai kira-kira sejak usia 15 bulan, meskipun pada awalnya
mereka hanya mengenal ciri-ciri fisik mereka. Ketika mereka menginjak usia pra
sekolah yaitu sekitar 3 sampai 5 tahun,
pengenalan diri mereka meluas tidak hanya pada ciri-ciri fisik, tetapi juga
karakteristik konkret dan juga psikologis sederrhana. Konsep diri ini akan
semakin kompleks dan mantap ketika ia menginjak usia remaja.
Apabila
seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka akana terrbentuk pengharhgaan
yang tinggi pula terhadap diri diri sendiri, atau dikatakan bahwa ia memiliki self esteem yang tinggi. Penghargaan
terhadap diri yang merupakan evaluasi terhadap diri sendiri akan menentukan
sejauh mana seseoran yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya.
Jadi, apabila ia memiliki konsep diri yang positif yang ditujukkan melalui self
esteem yang tinggi, segala perilakunya akan selalu terrtuju pada keberhasilan.
Ia akan berusaha dan berjuang selalu mewujudkan kosep dirinya. Misalnya,
apabila seorang anak merasa bahwa ia pandai, maka ia akan belajar tekun dan
bekerja keras untuk membuktikan bahwa ia benar-benar pandai seperrti
keyakinannya. Ia juga tidak akan mudah putus asa karena mempunyai keyakinan
bahwa ia pasti berhasil karena kepandaiannya.
Sebaliknya,
apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang dirinya, maka akan
muncul evaluasi negatif pula tentang dirinya. Segala informasi tentang dirinya
akan diabaikan, dan informasi negatif yang sesuai dengan gambaran dirinya akan
disimpannya sebagai bagian yang memperkuat keyakinan dirinya. Misalnya, jika
seorang ank percaya bahwa dia “anak nakal”, maka ia akan berperilaku sesuai
dengan keyakinan tersebut, misalnya mengganggu teman, membuat keributan,
berkelahi dan sebagainya. Apabila suatu saat ia mendapat pujian karena menolong
teman, maka ia akan cenderung mengabaikan pujian tersebut, karena tidak sesuai
dengan keyakinannya bahwa ia “anak nakal.” Pujian bahwa ia “anak baik”
membuat-nya merasa tidak nyaman. [4]
D.
Fungsi
Konsep Diri
Menurut Felker D (1974) terdapat tiga
fungsi utama konsep diri yaitu:
1.
Konsep diri sebagai
pemeliharaan konsisitensi internal (self consept as maintainer of consistency)
Individu
memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan
lingkungannya.
2.
Konsep diri sebagai
interpretasi dari pengalaman (self concept as on interpretation of experience)
Konsep
diri digunakan sebagai penentu tingkah lak, dapat dilihat dari bagaimana
pengalaman yang dialami dan diinterpretasikan individu.
3.
Konsep diri sebagai
suatu kumpulan harapan-harapan (self concept as set of expextations)
Konsep
diri menentukan apa yang diharapkan individu untuk terjadi pada dirinya.
Individu memandang diri dengan harga yang ia tentukan sendiri dan mengharap
orang lain juga memperlakukan dirinya sesuai dengan apa yang ia harapkan.[5]
E.
Konsep
Diri Pengaruhnya terhadap tingkah laku
Konsep diri tentunya memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang. Tingkah
laku seorang anak dapat di bina sedemikian rupa sehingga anak akan tumbuh
dengan tingkah laku yang bernilai positif. Pada usia remaja terdapat beberapa
indikator konsep diri, yaitu dimensi pengetahuan tentang diri, harapan pada
diri dan evaluasi pada diri sendiri. Konsep diri remaja akan dapat menentuksn
sikap dn perilaku remaja. Oleh karena itu, dapat mengendalikan sikap dan
perilaku remaja ke arah yang diharapkan oleh lingkungan, ada hal yang tidak
boleh diabaikan yakni proses internalisasi nilai-nilai yang dapat membentuk
konsep diri remaja yang positif dan ke arah yang dapat mendewasakan dirinya.
Dalam penegetahuan tentang diri
terkandung pengetahuan tentang titik lemah dan titik unggul. Dengan mengetahui
titik lemah maka remaja dapat mengatasinya sehingga hal itu berkembang menjadi
hambatan yang akan memosisikan dirinya pada sikap dan perilaku yang menyimpang
atau secara sosiologis perilaku anomali. Dalam dimensi
harapan pada diri sendiri, muncul
keinginan untuk menjadikan diri menjadi diri yang ideal, yang dapat memenuhi
kepuasan pada dirinya sehingga dalam aktivitasnya menempatkan diri pada situasi
dan kondisi yang diciptakannya.
Konsep diri yang positif cenderung
mendorong sikap optimistik dan percaya diri yang kuat untuk menghadapi situasi
apa saja di luar individu. Sementara itu sebaliknya konsep diri negatif akan menimbulkan
rasa tidak percaya diri dan ini dapat mengundang kompensasi dengan bertindak
agresif kepada obyek-obyek yang ada di sekitar diri individu yang bersangkutan,
yang dilandasi oleh rassa ketidak-berdayaan yang berlebihan.
Disinilah terletak alasan yang kuat
untuk menduga bahwa kecenderungan
berperilaku tertentu, termasuk perilaku agresif pada remaja memiliki hubungan
yang kuat dengan konsep diri yang mencakup pengetahuan, harapan dan penilaian
diri sendiri. Dengan demikian dapat
diduga bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan kecenderungan
berperilaku agresif pada remaja.[6]
F. Konsep Diri yang Sehat
Konsep seorang anak tentang dirinya
sendiri terdiri dari pikiran dan perasaan tentang dirinya sendiri. Jadi konsep
diri atau gambaran diri dapat diartikan sebagai perasaan atau pendapat tentang
siapakah diri saya ini. Konsep ini mengandung gambaran fisik maupun psikologis
tentang diri sendiri.
a.
Gambaran
diri secara fisik biasa terbentuk lebih dahulu, ini menyangkut penampilan fisik
si anak pada umumnya, apakah penampilannya menarik atau tidak, sebagai anak
perempuan cukup feminin atau tidak, dan lain sebagainya.
b.
Gambaran
diri psikologis didasarkan pada pikiran, perasaan dan emosinya; terdiri dari
sifat-sifat, watak-watak dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi
penyesuaiannya dalam kehidupan, seperti keberanian,
kejujuran,
kemandirian, kepercayaan diri, dan berbagai macam kemampuan lainnya.[7]
Konsep “diri” (self) merupakan suatu bagian yang penting dalam
setiap pembicaraan tentang kepribadian yang sehat. Baik kata maupun konsep
tersebut tampaknya sederhana sampai kita memeriksa bermacam-macam cara
bagaimana ahli-ahli teori kepribadian berusaha menjelaskan sifat dan fungsinya.
Bermacam-macam penjelasan mungkin membingungkan kita tentang apa kiranya arti
dari istilah yang sederhana ini.
Allport ingin menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang
terkandung
dalam pembicaraan-pembicaraan tentang”diri” dengan membuang kata
itu dan menggantikannya dengan suatu
kata lain yang akan membedakan konsepnya tentang”diri” dari semua konsep lain.
Istilah yang di pilihnya adalah proprium
dan dapat didefinisikan dengan bentuk sifat “propriate” seperti dalam kata “appropriate”. Proparium
menunjukan kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang. Itu
berarti bahwa proprium (atau self) terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang
penting dan bersifat pribadi bagi seseorang individu, segi-segi seseorang
sebagai yang unik. Allport menyebutkan “saya sebagaimana yang dirasakan dan
diketahui”.[8]
Konsep diri berkembang menurut pola yang dapat di ramalkan.
Perkembangan kesadaran diri tidak merupakan suatu proses tunggal. Dalam pola
perkembangan yang sehat, konsep diri yang lama harus diganti setelah diri yang
baru ditemukan; unsur-unsur dari konsep awal yang mengandung prasangka dan
tidak realistis, harus diganti dengan unsur-unsur yang realitis dan tanpa
prasangka. Karena anak kecil masih egosentris, maka ia membentuk konsep tentang
diri sendiri terlebih dahulu sebelum ia
membentuk konsep tentang orang lain. Dengan demikian konsep dirinya dijadikan
standar untuk menilai orang lain dan menafsirkan perilaku mereka.[9]
Perkembangan proprium di mulai dari masa bayi sampai masa
adolesensi melalui tujuh tingkat “diri”. Apabila semua segi perkembangan telah
muncul sepenuhnya, maka segi-segi tersebut dipersatukan dalam satu konsep proprium.
Jadi proprium adalah susunan dari tujuh tingkatan “diri”. Munculnya proprium
merupakan suatu prasyarat untuk kepribadian yang sehat. Tujuh tingkat “diri” yang ada pada seseorang sebagai
berikut:
a.
“Diri”
jasmaniah
Kita
tidak dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri; perasaan tentang diri
bukan merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan
antara diri (“saya”) dan dunia sekitarnya. Ketika bayi menyentuh, melihat,
mendengar dirinya, orang-orang lain dan benda-benda, perbedaan itu lebih jelas.
Kira-kira pada usia 15 bulan, maka muncullah tingkat pertama perkembangan
proprium diri jasmaniah. Kesadaran akan “saya jasmaniah” misalnya, bayi
membedakan antara jari-jarinya dan sebuah benda yang dipegang dalam
jari-jarinya, merupakan langkah pertama ke arah tercapainya seluruh diri.
b.
Identitas
Diri
Pada
tingkat kedua perkembangan, muncullah perasaan identitas diri. Anak mulai sadar
akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai seorang yang terpisah. Anak
mempelajari namanya, menyadari bahwa bayangan dalam cermin hari ini adalah
bayangan dari orang yang sama seperti dilihatnya kemarin dan percaya bahwa
perasaan tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi
pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah.
Allport berpendapat bahwa segi yang penting dalam identitas diri
adalah nama orang.
c.
Harga
Diri
Tingkat ketiga dalam perkembangan proprium ialah timbulnya harga
diri. Hal ini menyangkut perasaan bangga dari anak sebagai suatu hasil dari
belajar mengerjakan benda-benda atas usahanya sendiri. Pada tingkat ini, anak
ingin membuat benda-benda, menyelidii dan memuaskan perasaan ingin tahunya
tentang lingkungan, memanipulasi dan mengubah lingkungan itu. Apabila orang tua
menghalangi kebutuhan anak untuk menyelidiki
maka perasaan harga diri yang timbul akan dirusakkan. Akibatnya dapat timbul
perasaan dihina dan marah.
Inti dari munculnya harga diri ialah kebutuhan anak akan otonomi.
Hal ini kelihatan dalam tingkah lakunya yang negatif sekitar usia 2 tahun,
ketika anak kelihatannya selalu menentang segala sesuatu yang dikehendaki orang
tua untuk dilakukannya. Kemudian sekitar
usia6-7 tahun harga diri lebih ditentukan oleh semangat bersaing dengan
kawam-kawan sebayanya.
d.
Perluasan
Diri (self extension)
Tingkat perkembangan diri berikutnya, perluasan diri, mulai sekitar
4 tahun. Anak sudah mulai menyadari orang-orang lain dan benda-benda dalam lingkungannya
dan fakta bahwa beberapa di antaranya adalah milik anak tersebut. Anak
berbicara “rumahku” atau “sekolahku” dan
selanjutnya anak berkembang dengan luas
meliputi nilai-nilai dan cita-cita yang abstrak.
e.
Gambaran
Diri
Gambaran
diri berkembang pada tingkat berikutnya. Hal ini menunjukkan bagaimana anak
melihat dirinya dan pendapatnya tentang dirinya. Gambaran ini berkembang dari
interaksi-interaksi orang tua dan anak. Lewat pujian dan hukuman, anak belajar
bahwa orangtuanya
mengharapkannya
supaya menampilkan tingkah laku-tingkah laku tertentu dan menjauhi tingkah
laku-tingkah laku lainnya.
f.
Diri
Sebagai Pelaku Rasional
Setelah
anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional yang timbul. Aturan-aturan dan
harapan-harapan baru dipelajari dari guru-guru dan teman-teman sekolah serta
hal yang lebih penting ialah diberikannya aktivitas-aktivitas dan
tantangan-tantangan intelektual. Anak belajar bahwa dia dapat memecahkan
masalah-masalah dengan menggunakan proses-proses yang logis dan rasional.
g.
Perjuangan
Proprium (propriate striving)
Dalam
masa adolesensi timbul perjuangan proprium, tingka atau tingkat terakhir dalam
perkembangan diri. Allport percaya bahwa masa adolesensi merupakan suatu masa yang menentukan. Orang
sibuk mencari identitas diri yang baru, sangat berbeda dengan identitas diri
pada usia 2 tahun. Pertanyaan “Siapakah saya” adalah sangat penting. Segi yang
sangat penting dari pencarian identitas ini adalah definisi suatu tujuan hidup.
Pentingnya pencarian ini yakni untuk pertama kalinya orang memperhatikan masa
depan, tujuan-tujuan dan impian-impian masa panjang.
Tujuh
tingkat diri atau proprium ini berkembang dari masa bayi sampai masa
adolesensi. Suatu kegagalan atau kekecewaanyang hebat pada setiap tingkat
melumpuhkan penampilan tingkat-tingkat berikutnya. Dengan demikian
pengalama-pengalaman masa kanak-kanak sangat penting dalam perkembangan diri
yang sehat.[10]
Konsep
diri pada hakikatnya bersifat hirarkis, konsep diri primer atau yang paling
dasar diperoleh terlebih dahulu. Konsep
diri ini didasarkan pada pengalaman-pengalamannya dengan dengan kelompok
anggota keluarga. Konsep diri primer meliputi baik gambaran diri secara fisik
maupun
psikologis,
meskipun gambaran diri secara fisik
biasanya berkembang terlebih dahulu. Gambaran diri psikologis yang
pertama didasarkan pada kontak si anak dengan kakaknya dan perbandingan
antara dirinya dan mereka. Setelah
kontak dengan dunia di luar rumah bertambah, si anak memperoleh konsep lain
tentang dirinya yaitu konsep diri sekunder. Konsep diri sekunder ini berkaitan
dengan bagaimana si anak melihat diri sendiri dengan kacamata orang lain.[11]
Tujuh kriteria
konsep diri yang sehat menurut Allport sebagai berikut:
1.
Perluasan
Perasaan Diri
Ketika
diri berkembang, maka diri itu meluas menjangkau banyak orang mula-mula diri
berpusat hanya pada individu. Kemudian ketika pengalaman bertumbuh maka diri
bertambah luas meliputi nilai-nilai dan cita-cita yang abstrak.
2.
Hubungan
Diri Yang Hangat Dengan Orang Lain
Allport
membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang-orang lain:
Kapasitas keintiman dan kapasitas untuk perasaan terharu.
Orang
yang sehat secara psikologis mampu memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap
orang tua, anak, partner dan teman akrab. Kapasitas untuk keintiman ini adalah
sutau perasaan perluasan diri yang berkembang baik, sedangkan kapasitas
perasaan terharu adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan
perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa.
3.
Keamanan
Emosional
Sifat
dari keamanan emosional yaitu sabar terhadap kekecewaan dan mampu menerima
dirinya apa adanya, dengan kelemahan-kelemahan maupun dengan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki.
4.
Persepsi
Realitis
Orang-orang
yang sehat memandang dunia secara objektif. Orang-orang yang sehat tidak perlu
percaya bahwa orang-orang lain atau
situasi-situasi semuanya jahat atau semuanya baik menurut suatu prasangka pribadi terhadap realitas. Mereka menerima
realitas apa adanya.
5.
Keterampilan
dan Tugas-Tugas
Orang-orang
yang sehat yaitu orang-orang yang mengarahkan keterampilan-keterampilan mereka
terhadap suatu pekerjaan. Dan menggunakan keterampilan-keterampilan itu dengan
ikhlas, antusias, melibatkan dan menempatkan diri sepenuhnya dalam sebuah pekerjaan.
6.
Pemahaman
Diri
Orang
yang memiliki pemahaman diri yang tinggi atau wawasan diri tidak mungkin
memproyeksikan kualitas-kualitas pribadinya yang negatif terhadap orang lain.
7.
Filsafat
Hidup Yang Mempersatukan
Orang-orang yang sehat melihat ke depan, didorong oleh
tujuan-tujuan dan rencana-rencana jangka panjang. Orang-orang ini mempunyai
suatu perasaan akan tujuan, suatu tugas untuk bekerja sampai selesai, sebagi
batu sendi kehidupan bagi mereka, dan ini memberi kontinuitas bagi kepribadian
mereka.[12]
G. Upaya Orang Tua Dan Guru Dalam Membentuk
Konsep Diri Dan Implikasinya Bagi Pendidikan
v Upaya Orang
Tua
Upaya
orang tua dalam membentuk konsep diri terhadap seorang anak dimulai pada saat
anak tersebut masih balita.
1. Pada Tahun Pertama
Seperti
yang telah diketahui bahwa tugas utama orang tua pada tahun pertama ini adalah
menanamkan kepercayaan kepada si anak terhadap dunia di sekitarnya. Tidak ada
kepercayaan akan menimbulkan banyak masalah dalam penyesuaian si anak pada
lingkungannya. Pengembangan konsep diri yang positif dan pembentukan watak yang
baik hanya dimungkinkan kalau pada masa ini si anak mempercayai dunia
sekitarnya, terutama ibunya. Hal ini dapat dicapai dengan memenuhi segala
kebutuhan si bayi dan menyesuaikan diri dengan perilaku si bayi, menjalin
hubungan akrab dan mulai menunjukkan ketidak- setujuan terhadap sikap yang
dilakukan si bayi.
2. Pada tahun kedua
Pada
tahun kedua ini seorang balita mempunyai keinginan untuk mandiri melawan rasa
malu dan ragu-ragu. Keinginan untuk mandiri itu timbul karena si anak mulai
menyadari dirinya. Maka perkembangan kepribadian anak pada tahun ini sangat
tergantung pada interaksi antara orang tua dan anak. Pada tahun ini orang tua
harus mengarahkan anaknya untuk membantu anaknya menghadapi tantangan baru
yaitu mempelajari dunia di sekitarnya.
3. Pada tahun Ketiga
Anak
pada tahun ketiga ini sedang mengalami masa transisi dari masa bayi ke masa
kanak-kanak. Jadi peran utama pada tahun ini orang tua bersikap tegas dan
luwes, membantu menentukan pilihan si anak, dan biarkan si anak melakukan
sesuatu sendiri walaupun si anak belum bisa tetapi tidak mau dibantu.
4. Tahun kempat dan Kelima
Setelah
mengalami goncangan-goncangan pada masa transisi, anak berusia tiga tahun mulai
memasuki tahap keseimbangan. Masa ini merupakan masa yang baik untuk menanamkan
watak-watak kepribadian yang diinginkan. Pada tahap ini orang tua memberikan
kebebasan berinisiatif, mengajarkan bekerja sama, memberi, melatih tanggung
jawab, menanamkan sikap sportif, belajar memahami perasaan, mengajarkan nilai-nilai
moral dan memperluas pergaulan.
v Upaya Guru
Upaya
guru dalam membentuk konsep diri terhadap siswa dengan cara menerapkan
pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan
karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta
didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu,tekad, serta
adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, maupun bangsa, sehingga terwujud
insan kamil.[13]
Ada
beberapa bentuk pendidikan karakter yang sangat perlu diajarkan kepada peserta
didik sejak dini diantaranya sebagai berikut:
20
a.
Jujur
Ketika
di sekolah guru merupakan panutan bagi peserta didik, yang segala gerak-gerik
dan sikapnya langsung terlihat oleh muridnya. Oleh karena itu, untuk
menumbuhkan sikap jujur pada dirinya, guru juga harus memberikan contoh yang
konkrit dengan cara berusaha bersikap
jujur dan disiplin di setiap tempat.
b.
Disiplin
Dalam
hal ini guru harus membuat kesepakatan dengan peserta didik selama ia berada di
lingkungan sekolah, seperti kesepakatan tidak membuang sampah di sembarang
tempat kalau buang sampah sembarangan akan ada hukuman. Setelah membuat
kesepakatan antara guru dan peserta didik, guru harus berusaha bersikap
konsisten dengan cara tidak merubah kesepakatan itu.
c.
Percaya
diri
Sesederhana
apa pun yang dilakukan oleh peserta didik, namun jika itu bernilai kebaikan,
guru harus memberikan apresiasi berupa pujian. Apabila dilakukan dengan tulus,
apresiasi akan menumbuhkan rasa percaya diri pada peserta didid. Dan guru tidak
boleh menegur peserta didik di depan teman-temannya.
d.
Peduli
Guru jangan membiarkan peserta didik bertindak kasar pada adik
kelasnya.
e.
Mandiri
Guru
bisa menerapkan prinsip ini, misalnya dengan cara meminta peserta didik untuk
membuat jadwal hariannya di rumah dan di sekolah.
f.
Gigih
Guru
hendaknya mengatakan kepada peserta didik bahwa guru bangga atas proses dan
usaha terbaik yang telah ia lakukan selama ini.
g.
Tegas
Guru
memberikan kesempatan kepada pserta didik untuk mengungkapkan pendapatnya
h.
Bertanggung
Jawab
Guru
harus menjelaskan kepada peserta didik bahwa segala sesutu yang dilakukan ada
konsekuensi, dan ia harus siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan dari semua
tindakan-tindakan.
i.
Kreatif
Guru
dapat memberi tugas-tugas yang sekiranya mampu merangsang kreativitas peserta
didik.
j.
Bersikap
kritis
Guru
mesti membiasakan diri untuk memberikan alasan yang membuatnya melarang suatu
terhadap peserta didik.
v Implikasi Bagi
Pendidikan
a.
Orang
tua mendidik anaknya semenjak ia balita sehingga setelah dewasa anak tersebut
sudah terbentuk konsep dirinya.
b.
Guru
membina peserta didik dalam membentuk konsep diri.
c.
Orang
tua membantu guru dalam membentuk karakter peserta didik.
d.
Peserta
didik akan mengalami perubahan setelah ia menerapkan pendidikan karakter
tersebut
Kesimpulan
a. Konsep
diri juga merupakan cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi intelektual, sosoial, dan spiritual. Termasuk di
dalamnya adalah presepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya,
interaksi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang
berkaitan dengan penga-laman dan objek, serta tujuan, harapan, dan
keinginannya.
b.
Terdapat lima kompnen
konsep diri, yaitu gambaran diri(body
image), ideal diri(self ideal),
harga diri(self esteem), peran diri(self role), dan identitas diri(self identity).
c. Emosi merupakan
perubahan fisiologis pada wajah, otak, dan tubuh; proses kognitif seperti
interpretasi suatu peristiwa dan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan
serta adanya pengaruh budaya yang membenyuk pengalaman dan ekspresi emosi .
d. Faktor-faktor yang
mempengatuhi emosi adalah faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang
memepengaruhi emosi seseorang yaitu factor lingkungan. Faktor Dalam (tubuh
individu) seperti otak, hormon, dan pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar