HAFIZH JUNDU !!! HAFIZH JUNDU !!! HAFIZH JUNDU

Kamera cctv

Minggu, 17 Mei 2015

KONSEP DIRI


A.   Konsep diri


Secara teoritis dalam dunia psikologi pendidikan, konsep diri merupakan suatu materi yang tidak ada habis-habisnya digali. Dalam hampir setiap penelitian yang dilakukan dalam bidang kognitif, self concept (konsep diri) merupakan titik utama yang diperhatikan. Konsep diri merupakan esensi awal dari pengembangan manusia. Pemahaman yang cukup mendasar, mengingat ide untuk mengubah diri seseorang akan menjadi lebih efektif apabila merupakan motivasi atau kesadaran diri orang itu sendiri.
Konsep diri sendiri merupakan cara pandang diri manusia dalam melakukan penilaian pada dirinya sendiri. Menariknya, mengingat tingginya variasi antarmanusia tentu konsep diri antar orang akan sangat unik dan luar biasa bervariasi. Konsep diri itu sendiri, bukanlah sesuatu yang baru, namun dalam aplikasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari belum terlalu populer untuk kalangan awam.

Awalnya seseorang dilahirkan tanpa mengenali dirinya, kemudian belajar un-tuk mengenali dirinya dan menjadi pengenal, kemudian ia akan mulai belajar untuk dikenali.
William James, 1890

Pemahaman mengenai konsep diri merupakan hasil dari bagaimana kita melakukan proses mengenali diri sendiri. Proses ini kemudian kita sebut sebagai deskripsi diri. Perkembangan selanjutnya, proses pengenalan itu sendiri akan sangat beraneka ragam. Dimulai dari penilaian terhadap penilaian fisik, seperti cantik atau tampannya wajah seseorang, maupun bentuk tebuh. Kemudian berkembang  kepada pengenalan diri nonfisik seperti sejauh mana kepandaian saya, sudah sebaik apakah tingkah laku saya. Pengenalan diri inilah yang kemudian oleh beberapa ahli disebutkan merupakan

hasil dari pemahaman ysng dikembangkan dari pengalaman, yang dihadapi oleh seseorang ketika menjalani hidupnya.[1]
Konsep diri juga merupakan cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi intelektual, sosoial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah presepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi individu
dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan penga-laman dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya.
Beberapa hal yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam konsep diri, yaitu:
a.       Dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.
b.      Berkembang secara bertahap, diawali pada waktu bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain.
c.       Positif ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingku-ngan.
d.      Negatif ditandai dengan hubungan individu dan hubungan sosial yang maladaptif.
e.       Merupakan aspek kritikal dan dasar dari pembentukan perilaku individu.
f.        Berkembang dengan cepat bersama-sama dengan perkembangan bica-ra.
g.       Terbentuk karena peran keluarga, khususnya pada masa anak-anak, yang mendasari dan membantu perkembangannya.

Hal lain yang penting dalam konsep diri, yaitu:
a.       Aspek utama dalam perkembangan identitas diri adalah nama dan panggilan anak.
b.      Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain terhadap dirinya.
c.       Suasana keluarga yang serasi atau harmonis dan berpandangan positif akan mendorong kreativitas, menghasilkan perasaan yang potif dan berarti bagi anak.
d.      Penerimaan keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya. Kepada


e.       anak-anak disarankan agar seminimal mungkin menggunakan kata-kata jangan, tidak boleh, dan nakal tanpa penjelasan lebih lanjut.[2]


B.     Jenis-jenis dan Komponen Konsep Diri

Jenis-jenis Konsep Diri

Konsep diri dapat dibagi kedalam beberapa jenis. Jenis- jenis konsep diri menurut Calhoun & Acoccela (1990) dalam perkembangan terbagi menjadi dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

a.       Konsep Diri Positif

Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang mempunyai kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan. Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.

b.      Konsep diri negatif
Calhoun & Acoccela membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:

1.      Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar- benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.
2.      Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.[3]
C.  Perkembangan Konsep Diri

            Menurut beberapa ahli, konsep diri dikembangkan melalui interaksinya dengan orang lain maupun peniruan. Apabila sejak kecil ia diterima, disayangi, dan selalu dihargai, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif. Sementara itu pengalaman sosial yang buruk seperti ditolak, dicela, akan membentuk konsep diri yang negatif. Demikian halnya perilaku orang-orang yang dianggap penting bagi anak maupun tokoh-tokoh idola anak akan mempengaruhi konnsep dirinya. Dengan bertambahnya usia seorang anak, maka konsep diri akan terus berkembang melalui interaksinya dengan orang lain selain orang tuanya, terutama melalui perbandingan sosial dengan teman sebayanya.

            Pengenalan diri seorang anak dimulai kira-kira sejak usia 15 bulan, meskipun pada awalnya mereka hanya mengenal ciri-ciri fisik mereka. Ketika mereka menginjak usia pra sekolah yaitu sekitar  3 sampai 5 tahun, pengenalan diri mereka meluas tidak hanya pada ciri-ciri fisik, tetapi juga karakteristik konkret dan juga psikologis sederrhana. Konsep diri ini akan semakin kompleks dan mantap ketika ia menginjak usia remaja.



            Apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka akana terrbentuk pengharhgaan yang tinggi pula terhadap diri diri sendiri, atau dikatakan bahwa ia memiliki self esteem yang tinggi. Penghargaan terhadap diri yang merupakan evaluasi terhadap diri sendiri akan menentukan sejauh mana seseoran yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya. Jadi, apabila ia memiliki konsep diri yang positif yang ditujukkan melalui self esteem yang tinggi, segala perilakunya akan selalu terrtuju pada keberhasilan. Ia akan berusaha dan berjuang selalu mewujudkan kosep dirinya. Misalnya, apabila seorang anak merasa bahwa ia pandai, maka ia akan belajar tekun dan bekerja keras untuk membuktikan bahwa ia benar-benar pandai seperrti keyakinannya. Ia juga tidak akan mudah putus asa karena mempunyai keyakinan bahwa ia pasti berhasil karena kepandaiannya.

            Sebaliknya, apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang dirinya, maka akan muncul evaluasi negatif pula tentang dirinya. Segala informasi tentang dirinya akan diabaikan, dan informasi negatif yang sesuai dengan gambaran dirinya akan disimpannya sebagai bagian yang memperkuat keyakinan dirinya. Misalnya, jika seorang ank percaya bahwa dia “anak nakal”, maka ia akan berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut, misalnya mengganggu teman, membuat keributan, berkelahi dan sebagainya. Apabila suatu saat ia mendapat pujian karena menolong teman, maka ia akan cenderung mengabaikan pujian tersebut, karena tidak sesuai dengan keyakinannya bahwa ia “anak nakal.” Pujian bahwa ia “anak baik” membuat-nya merasa tidak nyaman. [4]

D.  Fungsi Konsep Diri

Menurut Felker D (1974) terdapat tiga fungsi utama konsep diri yaitu:

1.      Konsep diri sebagai pemeliharaan konsisitensi internal (self consept as maintainer of consistency)


Individu memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya.

2.      Konsep diri sebagai interpretasi dari pengalaman (self concept as on interpretation of experience)
Konsep diri digunakan sebagai penentu tingkah lak, dapat dilihat dari bagaimana pengalaman yang dialami dan diinterpretasikan individu.

3.      Konsep diri sebagai suatu kumpulan harapan-harapan (self concept as set of expextations)
Konsep diri menentukan apa yang diharapkan individu untuk terjadi pada dirinya. Individu memandang diri dengan harga yang ia tentukan sendiri dan mengharap orang lain juga memperlakukan dirinya sesuai dengan apa yang ia harapkan.[5]


E.   Konsep Diri Pengaruhnya terhadap tingkah laku

Konsep diri tentunya memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang. Tingkah laku seorang anak dapat di bina sedemikian rupa sehingga anak akan tumbuh dengan tingkah laku yang bernilai positif. Pada usia remaja terdapat beberapa indikator konsep diri, yaitu dimensi pengetahuan tentang diri, harapan pada diri dan evaluasi pada diri sendiri. Konsep diri remaja akan dapat menentuksn sikap dn perilaku remaja. Oleh karena itu, dapat mengendalikan sikap dan perilaku remaja ke arah yang diharapkan oleh lingkungan, ada hal yang tidak boleh diabaikan yakni proses internalisasi nilai-nilai yang dapat membentuk konsep diri remaja yang positif dan ke arah yang dapat mendewasakan dirinya.

Dalam penegetahuan tentang diri terkandung pengetahuan tentang titik lemah dan titik unggul. Dengan mengetahui titik lemah maka remaja dapat mengatasinya sehingga hal itu berkembang menjadi hambatan yang akan memosisikan dirinya pada sikap dan perilaku yang menyimpang atau secara sosiologis perilaku anomali. Dalam dimensi

harapan pada diri sendiri, muncul keinginan untuk menjadikan diri menjadi diri yang ideal, yang dapat memenuhi kepuasan pada dirinya sehingga dalam aktivitasnya menempatkan diri pada situasi dan kondisi yang diciptakannya.

Konsep diri yang positif cenderung mendorong sikap optimistik dan percaya diri yang kuat untuk menghadapi situasi apa saja di luar individu. Sementara itu sebaliknya konsep diri negatif akan menimbulkan rasa tidak percaya diri dan ini dapat mengundang kompensasi dengan bertindak agresif kepada obyek-obyek yang ada di sekitar diri individu yang bersangkutan, yang dilandasi oleh rassa ketidak-berdayaan yang berlebihan.

Disinilah terletak alasan yang kuat untuk menduga bahwa  kecenderungan berperilaku tertentu, termasuk perilaku agresif pada remaja memiliki hubungan yang kuat dengan konsep diri yang mencakup pengetahuan, harapan dan penilaian diri sendiri. Dengan  demikian dapat diduga bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku agresif pada remaja.[6]

F.    Konsep Diri yang Sehat
            Konsep seorang anak tentang dirinya sendiri terdiri dari pikiran dan perasaan tentang dirinya sendiri. Jadi konsep diri atau gambaran diri dapat diartikan sebagai perasaan atau pendapat tentang siapakah diri saya ini. Konsep ini mengandung gambaran fisik maupun psikologis tentang diri sendiri.
a.       Gambaran diri secara fisik biasa terbentuk lebih dahulu, ini menyangkut penampilan fisik si anak pada umumnya, apakah penampilannya menarik atau tidak, sebagai anak perempuan cukup feminin atau tidak, dan lain sebagainya.
b.      Gambaran diri psikologis didasarkan pada pikiran, perasaan dan emosinya; terdiri dari sifat-sifat, watak-watak dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi penyesuaiannya dalam kehidupan, seperti keberanian,



kejujuran, kemandirian, kepercayaan diri, dan berbagai macam kemampuan lainnya.[7]

Konsep “diri” (self) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian yang sehat. Baik kata maupun konsep tersebut tampaknya sederhana sampai kita memeriksa bermacam-macam cara bagaimana ahli-ahli teori kepribadian berusaha menjelaskan sifat dan fungsinya. Bermacam-macam penjelasan mungkin membingungkan kita tentang apa kiranya arti dari istilah yang sederhana ini.
Allport ingin menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang terkandung                                           dalam pembicaraan-pembicaraan tentang”diri” dengan membuang kata itu  dan menggantikannya dengan suatu kata lain yang akan membedakan konsepnya tentang”diri” dari semua konsep lain. Istilah yang di pilihnya adalah proprium  dan dapat didefinisikan dengan bentuk sifat “propriate”  seperti dalam kata “appropriate”. Proparium menunjukan kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang. Itu berarti bahwa proprium (atau self) terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seseorang individu, segi-segi seseorang sebagai yang unik. Allport menyebutkan “saya sebagaimana yang dirasakan dan diketahui”.[8]
Konsep diri berkembang menurut pola yang dapat di ramalkan. Perkembangan kesadaran diri tidak merupakan suatu proses tunggal. Dalam pola perkembangan yang sehat, konsep diri yang lama harus diganti setelah diri yang baru ditemukan; unsur-unsur dari konsep awal yang mengandung prasangka dan tidak realistis, harus diganti dengan unsur-unsur yang realitis dan tanpa prasangka. Karena anak kecil masih egosentris, maka ia membentuk konsep tentang diri  sendiri terlebih dahulu sebelum ia membentuk konsep tentang orang lain. Dengan demikian konsep dirinya dijadikan standar untuk menilai orang lain dan menafsirkan perilaku mereka.[9]





Perkembangan proprium di mulai dari masa bayi sampai masa adolesensi melalui tujuh tingkat “diri”. Apabila semua segi perkembangan telah muncul sepenuhnya, maka segi-segi tersebut dipersatukan dalam satu konsep proprium. Jadi proprium adalah susunan dari tujuh tingkatan “diri”. Munculnya proprium merupakan suatu prasyarat untuk kepribadian yang sehat. Tujuh tingkat  “diri” yang ada pada seseorang sebagai berikut:

a.       “Diri” jasmaniah
Kita tidak dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri; perasaan tentang diri bukan merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan antara diri (“saya”) dan dunia sekitarnya. Ketika bayi menyentuh, melihat, mendengar dirinya, orang-orang lain dan benda-benda, perbedaan itu lebih jelas. Kira-kira pada usia 15 bulan, maka muncullah tingkat pertama perkembangan proprium diri jasmaniah. Kesadaran akan “saya jasmaniah” misalnya, bayi membedakan antara jari-jarinya dan sebuah benda yang dipegang dalam jari-jarinya, merupakan langkah pertama ke arah tercapainya seluruh diri.

b.      Identitas Diri
Pada tingkat kedua perkembangan, muncullah perasaan identitas diri. Anak mulai sadar akan identitasnya yang berlangsung terus sebagai seorang yang terpisah. Anak mempelajari namanya, menyadari bahwa bayangan dalam cermin hari ini adalah bayangan dari orang yang sama seperti dilihatnya kemarin dan percaya bahwa perasaan tentang “saya” atau “diri” tetap bertahan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah.
Allport berpendapat bahwa segi yang penting dalam identitas diri adalah nama orang.






c.       Harga Diri
Tingkat ketiga dalam perkembangan proprium ialah timbulnya harga diri. Hal ini menyangkut perasaan bangga dari anak sebagai suatu hasil dari belajar mengerjakan benda-benda atas usahanya sendiri. Pada tingkat ini, anak ingin membuat benda-benda, menyelidii dan memuaskan perasaan ingin tahunya tentang lingkungan, memanipulasi dan mengubah lingkungan itu. Apabila orang tua menghalangi kebutuhan anak untuk menyelidiki  maka perasaan harga diri yang timbul akan dirusakkan. Akibatnya dapat timbul perasaan dihina dan marah.
Inti dari munculnya harga diri ialah kebutuhan anak akan otonomi. Hal ini kelihatan dalam tingkah lakunya yang negatif sekitar usia 2 tahun, ketika anak kelihatannya selalu menentang segala sesuatu yang dikehendaki orang tua  untuk dilakukannya. Kemudian sekitar usia6-7 tahun harga diri lebih ditentukan oleh semangat bersaing dengan kawam-kawan sebayanya.
d.      Perluasan Diri (self extension)
Tingkat perkembangan diri berikutnya, perluasan diri, mulai sekitar 4 tahun. Anak sudah mulai menyadari orang-orang lain dan benda-benda dalam lingkungannya dan fakta bahwa beberapa di antaranya adalah milik anak tersebut. Anak berbicara “rumahku” atau “sekolahku”  dan selanjutnya anak  berkembang dengan luas meliputi nilai-nilai dan cita-cita yang abstrak.
  
e.       Gambaran Diri
Gambaran diri berkembang pada tingkat berikutnya. Hal ini menunjukkan bagaimana anak melihat dirinya dan pendapatnya tentang dirinya. Gambaran ini berkembang dari interaksi-interaksi orang tua dan anak. Lewat pujian dan hukuman, anak belajar bahwa orangtuanya


mengharapkannya supaya menampilkan tingkah laku-tingkah laku tertentu dan menjauhi tingkah laku-tingkah laku lainnya.

f.        Diri Sebagai Pelaku Rasional
Setelah anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional yang timbul. Aturan-aturan dan harapan-harapan baru dipelajari dari guru-guru dan teman-teman sekolah serta hal yang lebih penting ialah diberikannya aktivitas-aktivitas dan tantangan-tantangan intelektual. Anak belajar bahwa dia dapat memecahkan masalah-masalah dengan menggunakan proses-proses yang logis dan rasional.

g.       Perjuangan Proprium (propriate striving)
Dalam masa adolesensi timbul perjuangan proprium, tingka atau tingkat terakhir dalam perkembangan diri. Allport percaya bahwa masa adolesensi  merupakan suatu masa yang menentukan. Orang sibuk mencari identitas diri yang baru, sangat berbeda dengan identitas diri pada usia 2 tahun. Pertanyaan “Siapakah saya” adalah sangat penting. Segi yang sangat penting dari pencarian identitas ini adalah definisi suatu tujuan hidup. Pentingnya pencarian ini yakni untuk pertama kalinya orang memperhatikan masa depan, tujuan-tujuan dan impian-impian masa panjang.

Tujuh tingkat diri atau proprium ini berkembang dari masa bayi sampai masa adolesensi. Suatu kegagalan atau kekecewaanyang hebat pada setiap tingkat melumpuhkan penampilan tingkat-tingkat berikutnya. Dengan demikian pengalama-pengalaman masa kanak-kanak sangat penting dalam perkembangan diri yang sehat.[10]
Konsep diri pada hakikatnya bersifat hirarkis, konsep diri primer atau yang paling dasar  diperoleh terlebih dahulu. Konsep diri ini didasarkan pada pengalaman-pengalamannya dengan dengan kelompok anggota keluarga. Konsep diri primer meliputi baik gambaran diri secara fisik maupun

psikologis, meskipun gambaran diri secara fisik  biasanya berkembang terlebih dahulu. Gambaran diri psikologis yang pertama didasarkan pada kontak si anak dengan kakaknya dan perbandingan antara  dirinya dan mereka. Setelah kontak dengan dunia di luar rumah bertambah, si anak memperoleh konsep lain tentang dirinya yaitu konsep diri sekunder. Konsep diri sekunder ini berkaitan dengan bagaimana si anak melihat diri sendiri dengan kacamata orang lain.[11]
Tujuh kriteria konsep diri yang sehat menurut Allport sebagai berikut:

1.      Perluasan Perasaan Diri
Ketika diri berkembang, maka diri itu meluas menjangkau banyak orang mula-mula diri berpusat hanya pada individu. Kemudian ketika pengalaman bertumbuh maka diri bertambah luas meliputi nilai-nilai dan cita-cita yang abstrak. 

2.      Hubungan Diri Yang Hangat Dengan Orang Lain
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang-orang lain: Kapasitas keintiman dan kapasitas untuk perasaan terharu.
Orang yang sehat secara psikologis mampu memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap orang tua, anak, partner dan teman akrab. Kapasitas untuk keintiman ini adalah sutau perasaan perluasan diri yang berkembang baik, sedangkan kapasitas perasaan terharu adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. 

3.      Keamanan Emosional
Sifat dari keamanan emosional yaitu sabar terhadap kekecewaan dan mampu menerima dirinya apa adanya, dengan kelemahan-kelemahan maupun dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki.



4.      Persepsi Realitis
Orang-orang yang sehat memandang dunia secara objektif. Orang-orang yang sehat tidak perlu percaya bahwa orang-orang lain  atau situasi-situasi semuanya jahat atau semuanya baik menurut suatu prasangka  pribadi terhadap realitas. Mereka menerima realitas apa adanya.

5.      Keterampilan dan Tugas-Tugas
Orang-orang yang sehat yaitu orang-orang yang mengarahkan keterampilan-keterampilan mereka terhadap suatu pekerjaan. Dan menggunakan keterampilan-keterampilan itu dengan ikhlas, antusias, melibatkan dan menempatkan diri sepenuhnya dalam sebuah pekerjaan.

6.      Pemahaman Diri
Orang yang memiliki pemahaman diri yang tinggi atau wawasan diri tidak mungkin memproyeksikan kualitas-kualitas pribadinya yang negatif terhadap orang lain.

7.      Filsafat Hidup Yang Mempersatukan
Orang-orang yang sehat melihat ke depan, didorong oleh tujuan-tujuan dan rencana-rencana jangka panjang. Orang-orang ini mempunyai suatu perasaan akan tujuan, suatu tugas untuk bekerja sampai selesai, sebagi batu sendi kehidupan bagi mereka, dan ini memberi kontinuitas bagi kepribadian mereka.[12] 
           
           
                       
                       


G.  Upaya Orang Tua Dan Guru Dalam Membentuk Konsep Diri Dan Implikasinya Bagi Pendidikan

v  Upaya Orang Tua

Upaya orang tua dalam membentuk konsep diri terhadap seorang anak dimulai pada saat anak tersebut masih balita.

1.      Pada Tahun Pertama

Seperti yang telah diketahui bahwa tugas utama orang tua pada tahun pertama ini adalah menanamkan kepercayaan kepada si anak terhadap dunia di sekitarnya. Tidak ada kepercayaan akan menimbulkan banyak masalah dalam penyesuaian si anak pada lingkungannya. Pengembangan konsep diri yang positif dan pembentukan watak yang baik hanya dimungkinkan kalau pada masa ini si anak mempercayai dunia sekitarnya, terutama ibunya. Hal ini dapat dicapai dengan memenuhi segala kebutuhan si bayi dan menyesuaikan diri dengan perilaku si bayi, menjalin hubungan akrab dan mulai menunjukkan ketidak- setujuan terhadap sikap yang dilakukan si bayi.

2.      Pada tahun kedua

Pada tahun kedua ini seorang balita mempunyai keinginan untuk mandiri melawan rasa malu dan ragu-ragu. Keinginan untuk mandiri itu timbul karena si anak mulai menyadari dirinya. Maka perkembangan kepribadian anak pada tahun ini sangat tergantung pada interaksi antara orang tua dan anak. Pada tahun ini orang tua harus mengarahkan anaknya untuk membantu anaknya menghadapi tantangan baru yaitu mempelajari dunia di sekitarnya.



3.      Pada tahun Ketiga
Anak pada tahun ketiga ini sedang mengalami masa transisi dari masa bayi ke masa kanak-kanak. Jadi peran utama pada tahun ini orang tua bersikap tegas dan luwes, membantu menentukan pilihan si anak, dan biarkan si anak melakukan sesuatu sendiri walaupun si anak belum bisa tetapi tidak mau dibantu.

4.      Tahun kempat dan Kelima

Setelah mengalami goncangan-goncangan pada masa transisi, anak berusia tiga tahun mulai memasuki tahap keseimbangan. Masa ini merupakan masa yang baik untuk menanamkan watak-watak kepribadian yang diinginkan. Pada tahap ini orang tua memberikan kebebasan berinisiatif, mengajarkan bekerja sama, memberi, melatih tanggung jawab, menanamkan sikap sportif, belajar memahami perasaan, mengajarkan nilai-nilai moral dan memperluas pergaulan.

v  Upaya Guru
Upaya guru dalam membentuk konsep diri terhadap siswa dengan cara menerapkan pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu,tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, maupun bangsa, sehingga terwujud insan kamil.[13]
Ada beberapa bentuk pendidikan karakter yang sangat perlu diajarkan kepada peserta didik sejak dini diantaranya sebagai berikut:



20
a.       Jujur
Ketika di sekolah guru merupakan panutan bagi peserta didik, yang segala gerak-gerik dan sikapnya langsung terlihat oleh muridnya. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan sikap jujur pada dirinya, guru juga harus memberikan contoh yang konkrit  dengan cara berusaha bersikap jujur dan disiplin di setiap tempat.

b.      Disiplin
Dalam hal ini guru harus membuat kesepakatan dengan peserta didik selama ia berada di lingkungan sekolah, seperti kesepakatan tidak membuang sampah di sembarang tempat kalau buang sampah sembarangan akan ada hukuman. Setelah membuat kesepakatan antara guru dan peserta didik, guru harus berusaha bersikap konsisten dengan cara tidak merubah kesepakatan itu.

c.       Percaya diri
Sesederhana apa pun yang dilakukan oleh peserta didik, namun jika itu bernilai kebaikan, guru harus memberikan apresiasi berupa pujian. Apabila dilakukan dengan tulus, apresiasi akan menumbuhkan rasa percaya diri pada peserta didid. Dan guru tidak boleh menegur peserta didik di depan teman-temannya.

d.      Peduli
Guru jangan membiarkan peserta didik bertindak kasar pada adik kelasnya.

e.       Mandiri
Guru bisa menerapkan prinsip ini, misalnya dengan cara meminta peserta didik untuk membuat jadwal hariannya di rumah dan di sekolah.

f.        Gigih
Guru hendaknya mengatakan kepada peserta didik bahwa guru bangga atas proses dan usaha terbaik yang telah ia lakukan selama ini.

g.       Tegas
Guru memberikan kesempatan kepada pserta didik untuk mengungkapkan pendapatnya

h.       Bertanggung Jawab
Guru harus menjelaskan kepada peserta didik bahwa segala sesutu yang dilakukan ada konsekuensi, dan ia harus siap dengan segala konsekuensi  yang ditimbulkan dari semua tindakan-tindakan.

i.         Kreatif
Guru dapat memberi tugas-tugas yang sekiranya mampu merangsang kreativitas peserta didik.

j.        Bersikap kritis
Guru mesti membiasakan diri untuk memberikan alasan yang membuatnya melarang suatu terhadap peserta didik.


v  Implikasi Bagi Pendidikan
a.       Orang tua mendidik anaknya semenjak ia balita sehingga setelah dewasa anak tersebut sudah terbentuk konsep dirinya.
b.      Guru membina peserta didik dalam membentuk konsep diri.
c.       Orang tua membantu guru dalam membentuk karakter peserta didik.
d.      Peserta didik akan mengalami perubahan setelah ia menerapkan pendidikan karakter tersebut





Kesimpulan
           
a.       Konsep diri juga merupakan cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi intelektual, sosoial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah presepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan penga-laman dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya.
b.      Terdapat lima kompnen konsep diri, yaitu gambaran diri(body image), ideal diri(self ideal), harga diri(self esteem), peran diri(self role), dan identitas diri(self identity).
c.       Emosi merupakan perubahan fisiologis pada wajah, otak, dan tubuh; proses kognitif seperti interpretasi suatu peristiwa dan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan serta adanya pengaruh budaya yang membenyuk pengalaman dan ekspresi emosi .
d.      Faktor-faktor yang mempengatuhi emosi adalah faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang memepengaruhi emosi seseorang yaitu factor lingkungan. Faktor Dalam (tubuh individu) seperti otak, hormon, dan pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SERING-SERING MAMPIR KESINI YAA