E M O S I
Disusun
Oleh :
Kelompok 4 ( Pendidikan Fisika 2B )
NAILA
MUFIDATUROSIDA (11140163000037)
SRI
RATNANINGSIH (11140163000038)
SARI
EKA PUTRI (11140163000039)
LISA
ARIANI
(11140163000051)
HAFIZH
JUNDU MUHAMMAD (11140163000060)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah Psikologi Pendidikan tentang Emosi ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam semoga
senantiasa terlimpah curahkan kepada junjungan kita baginda Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat, serta umatnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian
makalah ini tidak terlepas dari jasa dan kebaikan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Nuraida selaku dosen pada mata
kuliah Psikologi pendidikan. Serta rekan mahasiswa Pendidikan Fisika Semester
2 yang turut membantu mencurahkan hasil pemikiran demi tersusunnya makalah
ini.
Dengan penuh kerendahan
dan ketulusan hati, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan agar dapat lebih baik
lagi.
Tangerang, 24 April 2015
Penyusun (Kelompok 4)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Emosi banyak berpengaruh terhadap
fungsi-fungsi psikis lainnya, seperti: pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan
kehendak. Individu akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik
jika disertai dengan emosi yang baik pula. Individu juga akan memberikan
tanggapan atau respon yang positif terhadap suatu objek, manakala disertai
dengan emosi yang positif pula. Sebaliknya, individu akan melakukan pengamatan
atau tanggapan yang negatif terhadap suatu objek, jika disertai degnan emosi
yang negatif terhadap objek tersebut.
Setiap individu yang lahir akan selalu mengalami
perkembangan baik itu jasmani maupun rohani, kognitif, afektif dan psikomotor,
tidak henti-hentinya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Termasuk juga
emosi yang mengalami perkembangan karena emosi ini masih tergolong ke dalam
ranah afektif (pemahaman). Sehingga setiap individu harus memantau dan
mengarahkan masa-masa perkembangan ini ke arah yang lebih baik, sebab dalam
masa ini termasuk masa yang sulit dikendalikan karena keadaan jiwa individu
tersebut belum matang. Maka dari hal di atas kami tertarik untuk menyusun
makalah ini, yang membahas seputar perkembangan emosi dan proses pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud
dengan emosi serta faktor apa saja yang mempengaruhi emosi?
2. Apa saja
teori perkembangan moral?
3. Faktor
apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral?
4. Upaya apa
yang dapat dilakukan untuk mengembangkan moral, nilai, dan sikap serta
implikasi dalam pendidikan?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian
emosi dan faktor – faktor yang mempengaruhi emosi.
2. Menjelaskan teori
perkembangan moral.
3. Menganalisis faktor –
faktor yang mempengaruhi perkembangan moral.
4.
Menguraikan
upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya bagi pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Emosi
Menurut English an English, emosi
adalah “complex feeling state accompained
by characteristic motor and glanular activies”. (suatu keadaan perasaan
yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris.
Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap
keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah
(dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam) (Yusuf, 2012).
B. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Emosi
Faktor-faktor
yang mempengaruhi emosi menurut Harlock (1987):
1.
Usia
Semakin
bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu
akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik
dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara
lebih stabil dan matang secara emosi.
2.
Perubahan fisik dan kelenjar
Perubahan fisik dan
kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada
kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa remaja adalah periode “badai dan
tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan fisik dan kelenjar.
Beberapa
ahli juga menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi,
antara lain:
1.
Pola Asuh Orang Tua
Dari
pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku
anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor yang
mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orang tua. Cara orang tua
memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan
anak (Goleman, 2001).
2.
Lingkungan
Kebebasan
dan kontrol yang mutlak dapat menjadi penghalang dalam pencapaian kematangan
emosi remaja. Lingkungan di sekitar kehidupan remaja yang mendukung
perkembangan fisik dan mental memungkinkan kematangan emosi dapat tercapai
(Chaube, 2002).
3.
Jenis Kelamin
Laki-laki
dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki
pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga cenderung kurang mampu
mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini
menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika
dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003).
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi kematangan emosi
adalah usia, perubahan fisik dan kelenjar, cara orangtua memperlakukan
anak-anaknya, lingkungan, dan jenis kelamin.
C.
Perkembangan Moral, Nilai dan Sikap
Berbuat
sesuatu secara fisik adalah suatu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan
diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di
dalamnya tercakup juga sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi, kecuali
secara tidak langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat
menggambarkan sikap mental tersebut, bahkan secara tidak langsung pun ada
kalanya cukup sulit untuk menarik kesimpulan yang teliti.
Untuk lebih
jelasnya berikut ini akan diuraikan pengertian dan saling keterkaitan antara
nilai, moral dan sikap, serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
1.
Pengertian dan saling keterkaitan
antara nilai, moral, dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan
santun (Sutikna,1988:5).
Sopan santun, adat, kebiasaan serta
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang
menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia
dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk
dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antaralain:
a.
Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b.
Mengembangkan sikap tenggang rasa
c.
Tidak semena-mena terhadap orang
lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Bagaimana kaitannya antara
nilai-nilai dan moral?
Moral
adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan
sebagainya (Purwadarminto, 1957). Dalam moral diatur segala perbuatan yag
dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik
dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara
perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali
dalam bertingkah laku.
Dalam petanya dengan
pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan
bertigkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya, dalam
pengamalan nilai hidup: tenggang rasa, dalam perilakunya seseorang akan selalu
memperhatikan perasaan orang lain, tidak “semau
gue”. Dia dapat mmbedakan tindakan yang benar dan yang salah.
Nilai-nilai kehidupan
sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan
buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hal ini, aliran psikoanalisis tidak
membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai (Sarlito, 1991). Semua konsep itu menurut Freud menyatu dalam
konsepnya tentang superego. Superego sendiri dalam teori Freud merupakan bagian
dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak
bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut
Gerung, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu
terhadap sesuatu hal (Mappiare, 1982). Sikap berkaitan dengan motif dan
mendasari tingkah laku seseorang. Dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat
terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya.
Dengan demikian,
keterkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam
pengamalan nilai-nilai. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal lebih dulu,
kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu
terhadap nilai nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai yang dimaksud.
D.
Teori
Perkembangan Moral
1.
Teori Piaget
Jean Piaget
(1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori
struktural-kognitif. Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil
interaksi antara pelaksana aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual
dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi
moralitas itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi
dari individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992:
513).
Teori
struktur-kognitif Piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur
kognitif dan perkembangan penalaran moral (moral reasoning) yang termuat dalam
karya klasiknya yang terbit pertama kali pada 1932, The Moral Judgement of the Child (Conn, 1982: 378). Piaget
melakukan penelitiannya dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng.
Pengamatan Piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan
persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan. Kontradiksi
yang dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklasifikasikan penalaran moral dan
anak-anak yang agak kecil dan yang agak besar (Burton, 1992: 323-324).
Berdasarkan
penelitian itu dirumuskan dua buah urutan perkembangan yang paralel: satu
rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan aturan, sedang rumusan
lainnya berkenaan dengan kesadaran akan peraturan. Masing-masing urutan
perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat
eksternal, egosentris dan heteronom, ke arah orientasi yang menunjukkan adanya
keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan itu sebagai hasil
perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459).
2.
Teori Kohlberg
Teori
perkembangan moral Lawrence Kohlberg merupakan pengembangan teori
struktural-kognitif yang telah dilakukan Piaget sebelumnya. Di atas bangunan
teori Piaget itu, Lawrence Kohlberg mengusulkan suatu teori perkembangan
pemikiran moral (teori development-kognitif). Teori ini menyatakan bahwa setiap
individu melalui sebuah "urutan berbagai tahapan" (invariant sequence
of stages) moral. Tiap-tiap tahap ditandai oleh struktur mental khusus
(distinctive) yang diekspresikan dalam bentuk khusus penalaran moral (Kneller,
1984: 110).
E.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
a.
Perkembangan Kognitif
Umum.
Penalaran moral yang tinggi (advanced) penalaran yang dalam
mengenai hukum moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan,
hak-hak asasi manusia memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide
abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg, 1976;Nucci,2006;Turiel,2002).
Sebagai contoh: anak-anak yang secara intelektual (gifted) berbakat umumnya
lebih sering berpikir tentang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan
di masyarakat lokal ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya
(silverman,1994). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin
perkembangan moral. Terkadang siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis
dan pada saat yang sama bernalar secara prakonvensional, yang berpusat pada
diri sendiri (Kohlberg, 1976; Silverman, 1994).
b.
Penggunaan Ratio dan
Rationale.
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam
perkembangan moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang
ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Menjelaskan kepada
anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat diterima, dengan fokus
pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi (induction)
(M.L.Hoffman,1970,1975).
c.
Isu dan Dilema Moral.
Dalam teorinya mengenai perkembangan moral, Kohlberg
menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi
suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan
tingkat penalaran moralnya saat itu dengan kata lain, ketika anak menghadapi
situasi yang menimbulkan disequilibrium. Upaya untuk membantu anak-anak yang
menghadapi dilema semacam itu, Kohlberg menyarankan agar guru menawarkan
penalaran moral satu tahap di atas tahap yang dimiliki anak saat itu. Kohlberg
(1969) percaya bahwa dilema moral dapat digunakan untuk memajukan tingkat
penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap. Dia berteori bahwa
cara anak-anak melangkah dari satu tahap ke tahap berikut ialah dengan
berinteraksi dengan orang-orang lain yang penalarannya berada satu atau paling
tinggi dua tahap di atas tahap mereka.
d.
Perasaan Diri.
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral
ketika mereka berpikir bahwa sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata
lain ketika mereka memiliki pemahaman diri yang tinggi mengenai kemampuan
mereka membuat suatu perbedaan (Narfaez & Rest,1995). Lebih jauh, pada masa
remaja, beberapa anak muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai
moral terhadap identitas mereka secara keseluruhan (M.L.Arnold, 2000; Biyasi,
1995; Nucci, 2001). Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi bermoral dan
penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Tindakan
altruistic dan bela rasa yang mereka lakukan tidak terbatas hanya pada
teman-teman dan orang-orang yang mereka kenal saja, melainkan juga meluas ke
masyarakat.
F.
Upaya
Pengembangan Moral, Nilai, dan Sikap Serta Implikasinya dalam Penyelenggaraan
Pendidikan
Apa yang
terjadi di dalam diri pribadi seseoang hanya dapat didekati melalui cara-cara
tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang
tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala serta tingkah laku orang lain.
Di antaranya proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya
dan terjelmanya nilai-nilai kehidupan dalam diri individu, yang mungkin
didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual, disusul oleh penghayatan
nilai tersrbut, dan yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian
rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya
terhadap segala seuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai
oleh nilai tersebut.
Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, dan sikap
remaja adalah:
1.
Menciptakan Komunikasi
Dalam
komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral.
Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus
bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak
harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikut
sertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan
keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta aktif dalam
tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok. Di sekolah pun para
remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek
moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan
sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai
atau norma-norma moral.
2.
Mencipakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang
mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap
dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang
yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen
senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup
tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai
hidup hendaknya tiak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual
semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana
faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari
nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan faktor yang cukup luas
dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan
sosial terdekat yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina yaitu orang tua dan
guru.
Perlu juga
diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih banyak bersifat mengajak,
mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif dari pada lingkungan
yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan-peraturan yang serba
membatasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Menurut
English and English emosi adalah
suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan
kelenjar dan motoris. Sedangkan sarlitowirawan sarwono berpendapan bahwa emosi
merupakan setipa keadaan pada diri seserorang yang isertai warna afektif baik
paa tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam). Adapun factor yang mempengaruhi emosi yaitu usia, perubahan fisik dan kelenjar, pola asuh orang tua,
lingkungan, dan jenis kelamin.
2.
Teori perkembangan moral
terbagi 2, yaitu teori Piaget dan teori Kohlberg.
3.
Faktor
yang mepengaruhi perkembangan moral adalah perkembangan
kognitif umum, penggunaan ratio and rationale, isu dan dilema moral, perasaan
diri.
4.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan
dalam mengembangkan nilai, moral,dan sikap remaja yaitu menciptakan komunikasi
dan menciptakan lingkungan yang serasi.
B.
Saran
Kita
sebagai calon guru tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan yang
akan kita ajarkan saja. Namun, kita juga harus menguasai psikologi peserta
didik, karena dengan memahami karakter peserta didik, kita dapat menentukan
metode apa yang sebaiknya digunakan dalam pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Sunaro.
2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Yusuf,
Syamsu. 2012. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar