HAFIZH JUNDU !!! HAFIZH JUNDU !!! HAFIZH JUNDU

Kamera cctv

Minggu, 17 Mei 2015

MAKALAH EMOSI

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
E M O S I







Disusun Oleh :
Kelompok 4 ( Pendidikan Fisika 2B )
NAILA MUFIDATUROSIDA            (11140163000037)
SRI RATNANINGSIH                        (11140163000038)
SARI EKA PUTRI                              (11140163000039)
LISA ARIANI                                     (11140163000051)
HAFIZH JUNDU MUHAMMAD       (11140163000060)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
               2015

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Psikologi Pendidikan tentang Emosi ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada junjungan kita baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta umatnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari jasa dan kebaikan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis  mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Nuraida selaku dosen pada mata kuliah Psikologi pendidikan. Serta rekan mahasiswa Pendidikan Fisika Semester 2 yang turut membantu mencurahkan hasil pemikiran demi tersusunnya makalah ini.
Dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan agar dapat lebih baik lagi.
                                                                                   
                                      Tangerang, 24 April 2015                    
                                     
                                                                                                                                               Penyusun (Kelompok 4)  



BAB I

PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang

Emosi banyak berpengaruh terhadap fungsi-fungsi psikis lainnya, seperti: pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Individu akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Individu juga akan memberikan tanggapan atau respon yang positif terhadap suatu objek, manakala disertai dengan emosi yang positif pula. Sebaliknya, individu akan melakukan pengamatan atau tanggapan yang negatif terhadap suatu objek, jika disertai degnan emosi yang negatif terhadap objek tersebut.
Setiap individu yang lahir akan selalu mengalami perkembangan baik itu jasmani maupun rohani, kognitif, afektif dan psikomotor, tidak henti-hentinya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Termasuk juga emosi yang mengalami perkembangan karena emosi ini masih tergolong ke dalam ranah afektif (pemahaman). Sehingga setiap individu harus memantau dan mengarahkan masa-masa perkembangan ini ke arah yang lebih baik, sebab dalam masa ini termasuk masa yang sulit dikendalikan karena keadaan jiwa individu tersebut belum matang. Maka dari hal di atas kami tertarik untuk menyusun makalah ini, yang membahas seputar perkembangan emosi dan proses pembelajaran.

B.   Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan emosi serta faktor apa saja yang mempengaruhi emosi?
2.      Apa saja teori perkembangan moral?
3.      Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral?
4.      Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan moral, nilai, dan sikap serta implikasi dalam pendidikan?

C.    Tujuan

1.       Menjelaskan pengertian emosi dan faktor – faktor yang mempengaruhi emosi.
2.       Menjelaskan teori perkembangan moral.
3.       Menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan moral.
4.       Menguraikan upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya bagi pendidikan.


BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Emosi

Menurut English an English, emosi adalah “complex feeling state accompained by characteristic motor and glanular activies”. (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam) (Yusuf, 2012).

B.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi emosi menurut Harlock (1987):
1.         Usia
Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi.
2.      Perubahan fisik dan kelenjar
            Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa remaja adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan fisik dan kelenjar.

Beberapa ahli juga menyebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, antara lain:
1.      Pola Asuh Orang Tua
Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orang tua. Cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak (Goleman, 2001).
2.    Lingkungan
Kebebasan dan kontrol yang mutlak dapat menjadi penghalang dalam pencapaian kematangan emosi remaja. Lingkungan di sekitar kehidupan remaja yang mendukung perkembangan fisik dan mental memungkinkan kematangan emosi dapat tercapai (Chaube, 2002).
3.    Jenis Kelamin
Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika dibandingkan dengan perempuan (Santrock, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah usia, perubahan fisik dan kelenjar, cara orangtua memperlakukan anak-anaknya, lingkungan, dan jenis kelamin.

C.     Perkembangan Moral, Nilai dan Sikap

Berbuat sesuatu secara fisik adalah suatu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi, kecuali secara tidak langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut, bahkan secara tidak langsung pun ada kalanya cukup sulit untuk menarik kesimpulan yang teliti.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral dan sikap, serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
1.      Pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna,1988:5).
Sopan santun, adat, kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antaralain:
a.       Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b.      Mengembangkan sikap tenggang rasa
c.       Tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.

Bagaimana kaitannya antara nilai-nilai dan moral?
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957). Dalam moral diatur segala perbuatan yag dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
                          Dalam petanya dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertigkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya, dalam pengamalan nilai hidup: tenggang rasa, dalam perilakunya seseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat mmbedakan tindakan yang benar dan yang salah.
                          Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hal ini, aliran psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai (Sarlito, 1991).  Semua konsep itu menurut Freud menyatu dalam konsepnya tentang superego. Superego sendiri dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
                          Sedangkan, menurut Gerung, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal (Mappiare, 1982). Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya.
                          Dengan demikian, keterkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam pengamalan nilai-nilai. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal lebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.

D.    Teori Perkembangan Moral

1.    Teori Piaget
Jean Piaget (1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori struktural-kognitif. Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitas itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992: 513).
Teori struktur-kognitif Piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur kognitif dan perkembangan penalaran moral (moral reasoning) yang termuat dalam karya klasiknya yang terbit pertama kali pada 1932, The Moral Judgement of the Child (Conn, 1982: 378). Piaget melakukan penelitiannya dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng. Pengamatan Piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan. Kontradiksi yang dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklasifikasikan penalaran moral dan anak-anak yang agak kecil dan yang agak besar (Burton, 1992: 323-324).
Berdasarkan penelitian itu dirumuskan dua buah urutan perkembangan yang paralel: satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan aturan, sedang rumusan lainnya berkenaan dengan kesadaran akan peraturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris dan heteronom, ke arah orientasi yang menunjukkan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459).
2.    Teori Kohlberg
Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg merupakan pengembangan teori struktural-kognitif yang telah dilakukan Piaget sebelumnya. Di atas bangunan teori Piaget itu, Lawrence Kohlberg mengusulkan suatu teori perkembangan pemikiran moral (teori development-kognitif). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu melalui sebuah "urutan berbagai tahapan" (invariant sequence of stages) moral. Tiap-tiap tahap ditandai oleh struktur mental khusus (distinctive) yang diekspresikan dalam bentuk khusus penalaran moral (Kneller, 1984: 110).

E.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

a.    Perkembangan Kognitif Umum.
Penalaran moral yang tinggi (advanced) penalaran yang dalam mengenai hukum moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg, 1976;Nucci,2006;Turiel,2002). Sebagai contoh: anak-anak yang secara intelektual (gifted) berbakat umumnya lebih sering berpikir tentang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokal ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (silverman,1994). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral. Terkadang siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis dan pada saat yang sama bernalar secara prakonvensional, yang berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976; Silverman, 1994).
b.    Penggunaan Ratio dan Rationale.
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam perkembangan moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat diterima, dengan fokus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi (induction) (M.L.Hoffman,1970,1975).
c.    Isu dan Dilema Moral.
Dalam teorinya mengenai perkembangan moral, Kohlberg menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu dengan kata lain, ketika anak menghadapi situasi yang menimbulkan disequilibrium. Upaya untuk membantu anak-anak yang menghadapi dilema semacam itu, Kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap di atas tahap yang dimiliki anak saat itu. Kohlberg (1969) percaya bahwa dilema moral dapat digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap. Dia berteori bahwa cara anak-anak melangkah dari satu tahap ke tahap berikut ialah dengan berinteraksi dengan orang-orang lain yang penalarannya berada satu atau paling tinggi dua tahap di atas tahap mereka.
d.    Perasaan Diri.
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berpikir bahwa sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata lain ketika mereka memiliki pemahaman diri yang tinggi mengenai kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narfaez & Rest,1995). Lebih jauh, pada masa remaja, beberapa anak muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral terhadap identitas mereka secara keseluruhan (M.L.Arnold, 2000; Biyasi, 1995; Nucci, 2001). Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Tindakan altruistic dan bela rasa yang mereka lakukan tidak terbatas hanya pada teman-teman dan orang-orang yang mereka kenal saja, melainkan juga meluas ke masyarakat.

F.     Upaya Pengembangan Moral, Nilai, dan Sikap Serta Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Apa yang terjadi di dalam diri pribadi seseoang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala serta tingkah laku orang lain. Di antaranya proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai kehidupan dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual, disusul oleh penghayatan nilai tersrbut, dan yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala seuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, dan sikap remaja adalah:
1.         Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikut sertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok. Di sekolah pun para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.
2.    Mencipakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tiak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina yaitu orang tua dan guru.
Perlu juga diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih banyak bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif dari pada lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan-peraturan yang serba membatasi.


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.      Menurut English and English emosi adalah suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan sarlitowirawan sarwono berpendapan bahwa emosi merupakan setipa keadaan pada diri seserorang yang isertai warna afektif baik paa tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam). Adapun factor yang mempengaruhi emosi yaitu usia, perubahan fisik dan kelenjar, pola asuh orang tua, lingkungan, dan jenis kelamin.
2.      Teori perkembangan moral terbagi 2, yaitu teori Piaget dan teori Kohlberg.
3.      Faktor yang mepengaruhi perkembangan moral adalah perkembangan kognitif umum, penggunaan ratio and rationale, isu dan dilema moral, perasaan diri.
4.      Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral,dan sikap remaja yaitu menciptakan komunikasi dan menciptakan lingkungan yang serasi.
B.     Saran
                        Kita sebagai calon guru tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan yang akan kita ajarkan saja. Namun, kita juga harus menguasai psikologi peserta didik, karena dengan memahami karakter peserta didik, kita dapat menentukan metode apa yang sebaiknya digunakan dalam pengajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Sunaro. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Yusuf, Syamsu. 2012. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Bandung.
Paradigma Moral. Http://staff.uny.ac.id. Diakses pada hari Jumat, 24 April 2015 Pukul 14.28 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SERING-SERING MAMPIR KESINI YAA